Selasa, 24 Maret 2015

Wawasan Kebangsaan dan Demokrasi di Indonesia

Oleh : Jons Manedi
Disampaikan dalam Latihan Dasar Kepemimpinan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Gunung Talang,
pada tanggal 5 Februari 2015.

I. Pendahuluan

Jika melihat pada perkembangan politik, sosial, ekonomi dan budaya di Indonesia saat ini sungguh sangat memprihatinkan dan sangat memprihatinkan. Bahkan kekuatiran itu menjadi semakin nyata ketika menjelajah dan melihat pada apa yang dialami oleh setiap warga negara yakni semakin merosot dan memudarnya wawasan kebangsaan. Yang sangat menyedihkan lagi adalah kita sebagai masyarakat sudah kehilangan makna dan hakekat dari wawasan kebangsaan tersebut, yang akhirnya mendorong kepada dis-orientasi dan perpecahan.

Jika melihat atas kejadian dan pandangan tersebut diatas rasanya sungguh wajar dan tidak mengada-ada. Krisis yang dialami Indonesia saat ini saling berkaitan, krisis ekonomi yang bisa dikatakan belum bahkan tidak stabil berdampak kepada krisis politik, sosial dan budaya yang pada perbaikannya malahberdampak secara langsung kepada makin parahnya system ekonomi. Bisa kita lihat krisis politik akhir-akhir ini yang akhirnya berakibat kepada tidak stabilnya harga pasar, dan itu sangat berpengaruh kepada kebiasaan sosial masyarakat. Apalagi jika melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku, agama, budaya daerah, dan berbagai aspek politik lainnya, serta kondisi geografis negara kepulauan yang tersebar. Semua ini mengandung potensi konflik (latent social conflict) yang dapat merugikan dan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.

Semua fenomena yang terjadi, terutama krisis ekonomi, politik dan sosial telah memperlihatkan tandan-tanda awal munculnya krisis kepercayaan diri (self-confident) dan rasa hormat diri (self-esteem) sebagai bangsa. Krisis kepercayaan sebagai bangsa dapat berupa keraguan terhadap kemampuan diri sebagai bangsa untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang terus-menerus datang, seolah-olah tidak ada habis-habisnya mendera Indonesia. Aspirasi politik untuk merdeka di berbagai daerah, misalnya, adalah salah satu manifestasi wujud krisis kepercayaan diri sebagai satu bangsa, satu “nation”.

Apabila krisis politik dan krisis ekonomi sudah sampai pada krisis kepercayaan diri, maka eksistensi Indonesia sebagai bangsa (nation) sedang dipertaruhkan. Maka, sekarang ini adalah saat yang tepat untuk melakukan re-evaluasi terhadap proses terbentuknya “nation and character building” kita selama ini, karena boleh jadi persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini berawal dari kesalahan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal “kebangsaan” yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an. Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang ditakutkan Sukarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”. Seperti hubungan Indonesia dengan organisasi pendonor dunia (IMF, CGI, World Bank, ADB) dan negara-negara pemberi pinjaman (Jepang, AS,Eropa) sudah mendekati hubungan antara “pengemis-pemberi sedekah”. Sikap dan prilaku demikian sangat bertentangan dengan gagasan dasar berdirinya Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Kemerdekaan menurut Sukarno adalah “jembatan emas” menuju cita-cita demokrasi, sedangkan pembentukan “nation and character building” dilakukan di dalam prosesnya. Kalau pada suatu saat Sukarno menyatakan bahwa, “revolusi belum selesai,” maka dalam konteks “nation and character building,” pernyataan demikian dapat dimengerti. Artinya, baik “nation” maupun “character” yang dikehendaki sebagai bangsa merdeka belum mencapai standar yang dibutuhkan. Maka dalam hubungan “nation and character building” seperti yang diuraikan di atas, beberapa hal berikut terkandung di dalam gagasan awalnya:
Pertama, Kemandirian (self-reliance), atau menurut istilah Presiden Soekarno adalah “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri).
 Kedua, Demokrasi (democracy), atau kedaulatan rakyat sebagai ganti sistem kolonialis.
 Ketiga, Persatuan Nasional (national unity). Dalam konteks aktual dewasa ini diwujudkan dengan kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi nasional antar berbagai kelompok yang pernah bertikai ataupun terhadap kelompok yang telah mengalami diskriminasi selama ini.
 Keempat, Martabat Internasional (bargaining positions). Indonesia tidak perlu mengorbankan martabat dan kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka untuk mendapatkan prestise, pengakuan dan wibawa di dunia internasional. Sikap menentang hegemoni suatu bangsa atas bangsa lainnya adalah sikap yang mendasari

Di samping itu, timbul pertanyaan mengapa akhir-akhir ini wawasan kebangsaan menjadi banyak dipersoalkan. Apabila kita coba mendalaminya, menangkap berbagai ungkapan masyarakat, terutama dari kalangan cendekiawan dan pemuka masyarakat, memang mungkin ada hal yang menjadi keprihatinan. Pertama, ada kesan seakan-akan semangat kebangsaan telah menjadi dangkal atau tererosi terutama di kalangan generasi muda–seringkali disebut bahwa sifat materialistik mengubah idealisme yang merupakan jiwa kebangsaan. Kedua, ada kekuatiran ancaman disintegrasi kebangsaan, dengan melihat gejala yang terjadi di berbagai negara, terutama yang amat mencekam adalah perpecahan di Yugoslavia, di bekas Uni Soviet, dan juga di negara-negara lainnya seperti di Afrika, dimana paham kebangsaan merosot menjadi paham kesukuan atau keagamaan. Ketiga, ada keprihatinan tentang adanya upaya untuk melarutkan pandangan hidup bangsa ke dalam pola pikir yang asing untuk bangsa ini.

II. Wawasan Kebangsaan

Setiap orang tentu memiliki rasa kebangsaan dan memiliki wawasan kebangsaan dalam perasaan atau pikiran, paling tidak di dalam hati nuraninya. Dalam realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tetapi sulit dipahami. Namun ada getaran atau resonansi dan pikiran ketika rasa kebangsaan tersentuh. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara berbeda dari orang per orang dengan naluri kejuangannya masing-masing, tetapi bisa juga timbul dalam kelompok yang berpotensi dasyat luar biasa kekuatannya.

Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan, yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan atau semangat patriotisme.

Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati diri, serta mengembangkan perilaku sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai budayanya, yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan kepribadiannya.

Rasa kebangsaan bukan monopoli suatu bangsa, tetapi ia merupakan perekat yang mempersatukan dan memberi dasar keberadaan (raison d’entre) bangsa-bangsa di dunia. Dengan demikian rasa kebangsaan bukanlah sesuatu yang unik yang hanya ada dalam diri bangsa kita karena hal yang sama juga dialami bangsa-bangsa lain.

Bagaimana pun konsep kebangsaan itu dinamis adanya. Dalam kedinamisannya, antar-pandangan kebangsaan dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dengan benturan budaya dan kemudian bermetamorfosa dalam campuran budaya dan sintesanya, maka derajat kebangsaan suatu bangsa menjadi dinamis dan tumbuh kuat dan kemudian terkristalisasi dalam paham kebangsaan.

Paham kebangsaan berkembang dari waktu ke waktu, dan berbeda dalam satu lingkungan masyarakat dengan lingkungan lainnya. Dalam sejarah bangsa-bangsa terlihat betapa banyak paham yang melandaskan diri pada kebangsaan. Ada pendekatan ras atau etnik seperti Nasional-sosialisme (Nazisme) di Jerman, atas dasar agama seperti dipecahnya India dengan Pakistan, atas dasar ras dan agama seperti Israel-Yahudi, dan konsep Melayu-Islam di Malaysia, atas dasar ideologi atau atas dasar geografi atau paham geopolitik, seperti yang dikemukakan Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945.
“Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar; Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua Asia dan benua Autralia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, kepulaua Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan.”

Terhadap pernyataan itu, Bung Hatta tidak sepenuhnya sependapat, terutama mengenai pendekatan geopolitik itu :
“Teori geopolitik sangat menarik, tetapi kebenarannya sangat terbatas. Kalau diterapkan kepada Indonesia, maka Filipina harus dimasukkan ke daerah Indonesia dan Irian Barat dilepaskan; demikian juga seluruh Kalimantan harus masuk Indonesia. Filipina tidak saja serangkai dengan kepulauan kita.”

Menurut Hatta memang sulit memperoleh kriteria yang tepat apa yang menentukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan pada kesamaan asal, persamaan bahasa, dan persamaan agama. Menurut Hatta “bangsa ditentukan oleh sebuah keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan yang bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya oleh karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak.”

Pengertian tentang rasa dan wawasan kebangsaan tersebut di atas sebenarnya merupakan pandangan generik yang menjelaskan bahwa rasa dan wawasan lahir dengan sendirinya di tengah ruang dan waktu seseorang dilahirkan. Tidak salah bila pandangan generik itu mengemukakan pentingnya menumbuhkan semangat kejuangan, rasa kebanggaan atas bumi dan tanah air dimana seseorang dilahirkan dan sebagainya.

Wawasan kebangsaan merupakan jiwa, cita-cita, atau falsafah hidup yang tidak lahir dengan sendirinya. Ia sesungguhnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial dan politik (sociallyand politicallyconstructed). Pidato Bung Karno atau perhatian Hatta mengenai wawasan kebangsaan adalah bagian penting dari konstruksi elit politik terhadap bangunan citra (image) bangsa Indonesia. Apa pun perbedaan pandangan elit tersebut, persepsi itu telah membentuk kerangka berpikir masyarakat tentang wawasan kebangsaan.

III. Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara

Setiap negara pasti mempunyai pondasi/pilar/dasar-dasar negara, begitu halnya juga dengan negara Indonesia, negara Indonesia mempunyai pilar-pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak hanya satu tetapi 4 pilar. Konsep ini digagas oleh alm Taufik Kiemas, beliau menggagas konsep ini mengingat empat pilar ini adalah mutlak dan tidak bisa dipisahkan dalam menjaga dan membangun keutuhan bangsa. Seperti halnya sebuah bangunan dimana untuk membuat bangunan tersebut menjadi kokoh dan kuat, dibutuhkan pilar-pilar atau penyangga agar bangunan tersebut dapat berdiri dengan kokoh dan kuat, begitu halnya juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini.

Lalu apa saja macam-macam 4 pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara:

a. Pancasila Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia.
Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

b. UUD Dasar 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945 atau UUD ‘45, adalah hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia saat ini. 

UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.

Pada kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Tujuan, Pokok, Fungsi UUD1945
 Landasan Konstitusional atas landasan ideal yaitu Pancasila
 Alat pengendalian sosial (a tool of social control)
 Alat untuk mengubah masyarakat ( a tool of social engineering)
 Alat ketertiban dan pengaturan masyarakat.
 Sarana mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin.
 Sarana penggerak pembangunan.
 Fungsi kritis dalam hukum.
 Fungsi pengayoman
 Alat politik.

c. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah bentuk dari negara Indonesia, dimana negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan, selain itu juga bentuk negaranya adalah republik, kenapa NKRI, karena walaupun negara Indonesia terdiri dari banyak pulau, tetapi tetap merupakan suatu kesatuan dalam sebuah negara dan bangsa yang bernama Indonesia.

Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak dapat dipisahkan dari peristiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, karena melalui peristiwa proklamasi tersebut bangsa Indonesia berhasil mendirikan negara sekaligus menyatakan kepada dunia luar (bangsa lain) bahwa sejak saat itu telah ada negara baru yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d. Bhineka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyanIndonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti “beraneka ragam” atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Kataika berarti “itu”.

Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

IV. Sistem Demokrasi dan Pemilu di Indonesia

a. Demokrasi

Dintinjau dari asal kata, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu Demos yang artinya rakyat dan Kratos artinya pemerintah atau pemerintahaan. Jadi secara sederhana demokrasi diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Namun, jika diperluas, maka demokrasi bisa diartikan dan dimakanai sebagai bentuk pemerintahan yang kekuasaan tertingginya ada ditangan rakyat. Karena dalam konsep demokrasi, masyarakatlah yang berdaulat dan sebagai pemilik kekuasaan yang diselenggarakan oleh pemerintahaan yang dipilih secara demokratis.

Kata demokrasi muncul dari sejarah Yunani kuno yang bermula pada abad ke-6 Sebelum Masehi. Pada masa itu demokrasi diselenggarakan sebagai sebuah system politik yang melibatkan individu-individu warga negara dalam mengambil sebuah keputusan, walau demikian, tidak semua warga yang terlibat dalam mengambil keputusan. Ada golongan dalam masyarakat Yunani Kuno yang tidak memiliki hak dalam mengambil keputusan dewan (eclesia), yaitu kaum budak, orang asing, kaum perempuan dan anak-anak.

Pada dasarnya pemerintahan negara Indonesia itu terdiri dari tiga badan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga lembaga ini melaksanakan fungsi masing-masing dalam menyelenggarakan negara. Dalam negara yang demokrasi, kekuasaan negara tidak ditumpuk pada satu badan saja. Dengan dibaginya kekuasaan negara kedalam badan-badan negara ini, maka Indonesia menjadi negara demokrasi. Sesuai dengan perkembangan suatu negara, maka keterlibatan masyarakat dama membuat keputusan dalam pemerintahan tidak dapat lagi dilakukan secara langsung.

Ini adalah akibat dari luasnya negara, semakin bertambahnya penduduk dan beragamnya kepentingan masyarakat. Karenanya, untuk melibatkan masyarakat dalam mengambil keputusan dalam pemerintahan, maka dilakukan pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang akan memperjuangkan kepentingan mereka. Jadi dalam era modern sekarang, demokrasi yang dilaksanakan adalam demokrasi tidak langsung.

b. Pemilu dan Sejarah

Pemilu Pemilihan Umum adalah proses dimana rakyat dalam sebuah negara melakukan pemilihan tetap terhadap wakil-wakilnya yang akan duduk dilembaga perwakilan atau memilih pimpinan pemerintahannya (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota). Dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan DPR, DPD, dan DPRD, dan pemilihan umum (Pemilu) didefenisikan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam Undang-undang Dasar 1945 hanya dinyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Dalam praktiknya sejak pemilu 2004, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kab/Kota dilakukan pada bulan April setiap 5 (lima) tahun sekali.

c. Mengapa Pemilu Penting?

Pemilihan umum yang sudah menjadi agenda rutin setiap 5 (lima) tahun sekali memiliki peranan yang sangat penting dalam mengontrol stabilitas, bentuk dan tatanan politik negara, pemilihan umum merupakan suatu keharusan dalam negara yang menganut system demokrasi.

Berikut alasan mengapa pemilu itu sangat penting :
 kedaulatan ada ditangan rakyat, dimana rakyat yang berdaulat memilih wakil-wakilnya yang diharapkan akan memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya
 sarana mengekspresikan hak dasar rakyat, termasuk berpendapat dan berkumpul secara bebas
 membentuk pemerintahan yang memiliki legitimasi (pengakuan dari rakyat)
 sarana rekruitmen politik, dan setiap warga memiliki hak yang sama untuk berkesempatan mengisi jabatan publik dan cara pergantian kekuasaan secara teratur dan damai.
 sarana efektif untuk menyelesaikan konflik di tingkat masyarakat secara terlembaga dan tanpa kekerasan.

d. Apa syarat untuk bisa ikut pemilu

Dalam penyelenggaraan pemilihan umum setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih sudah berhak untuk bisa ikut dalam melakukan pemilihan, apa saja persyaratanya :
1. Warga Negara Indonesi (WNI) yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP)
2. Sudah berumur 17 tahun atau sudah pernah menikah
3. Bukan anggota TNI dan Polri
4. Sedang tidak dicabut hak pilihnya oleh pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
5. Terdaftar sebagai pemilih yang nantinya akan ditetapkan oleh penyelenggara pemilu yatu KPU.

V. Penutup

Dapat dimengerti bahwa dalam membangun sebuah wawasan pembangunan ini diperlukan suatu “platform”, yakni yang dibangun adalah rakyat, bangsa, dan negara. Dalam upaya itu, pembangunan ekonomi merupakan pendukung atau ‘derivat’ dari pembangunan yang berorientasi pada rakyat, bangsa, dan negara. Pemilu merupakan hajatan penting yang harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, pemilu merupakan wadah bagi rakyat untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan arah, dan bentuk pembangunan selanjutnya di Indonesia. Menjadi pemilih yang cerdas dalam menentukan pilihan adalah kewajiban kita semua, untuk Indonesia lebih baik.

VI. Daftar Pustaka.

1. Undang-undang nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD tahun 2014.
2. Buku Saku relawan Demokrasi KPU Provinsi Sumatera Barat. tahun 2014



1 komentar:

  1. "Berikan aku seribu orang tua akan ku pindahkan Gunung Semeru, Berikan aku 10 orang Pemuda akan ku Goncang Dunia" (Soekarno)

    BalasHapus